Selasa, 08 Desember 2020

ATHA BIN ABI RABAH - DENGAN ILMU PARA BUDAK BISA MELAMPAUI DERAJAT PARA RAJA.


Ketika mendengar kata ‘seorang budak’ tentunya kebanyakan dari kita pikirannya akan terarahkan kepada keadaan yang miris, pengendalian diri secara paksa, kebebasan hidup yang dirampas, dan hal-hal lainnya yang terkesan mengenaskan dan penuh rasa iba. Namun kembali lagi kepada fitrah kita sebagai manusia, bahwa kita diciptakan sebagai sebaik-baiknya makhluk. Seperti halnya tersebut dalam firman Allah Swt. yang artinya,

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya”. [Q.S. At-Tin ayat 4]

 Maka dari itu, tidak lantas semua yang menjadi budak akan hina. Karena tak jarang pula diantara mereka yang justru keimanannya melebihi orang-orang merdeka. Salah satu diantaranya adalah, Atha bin Abi Rabah. Ia dilahirkan pada pertengahan masa pemerintahan Utsman dan menjadi salah satu mufassir dari kalangan tabi’in. Keimanan dan semangatnya dalam menuntut ilmu menjadikannya mulia. Inilah yang Allah janjikan dalam ayat-Nya yang artinya,

“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” [Q.S. Al-Mujadalah ayat 11]

Tatkala Allah Swt. telah berkehendak untuk memilih dan memuliakan hamba-Nya dengan ilmu, maka tidak ada seorang pun yang mampu mencegahnya. Dengannya pula Allah memuliakan hamba-Nya betapapun statusnya dalam pandangan manusia adalah hina.

 Pada tulisan ini saya ‘Sri Widayanti’ Mahasiswi semester 5 Sekolah Tinggi Al-Qur’an Al-Multazam Kuningan akan menuliskan biografi Atha bin Abi Rabah salah satu mufassir ternama di kalangan tabi’in. Tulisan ini dimuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Manahij Al-Mufassirin, juga sebagai sarana berbagi ilmu kepada pembaca yang dirahmati Allah Swt..

ATHA BIN ABI RABAH

Atha bin Abi Rabah kunyahnya adalah Abu Muhammad Al-Makki. Ayahnya dikenal dengan Abu Rabah Aswadan, nama aslinya Aslam dan ibunya bernama Barokah. Ia dilahirkan di sebuah desa di negeri Yaman yang bernama Al-Janad pada tahun 653 M / 27 H. Dan wafat pada tahun 741 M / 115 H pada usia 88 tahun.

Atha bin Abi Rabah adalah seorang yang berkulit hitam dan berambut keriting. Semasa di Mekkah, ia menjadi budak dari seorang wanita yang bernama Habibah binti Maisarah bin Abi Hutsaim. Ia membagi waktunya menjadi tiga bagian. Bagian yang pertama, ia membagi waktunya dengan memenuhi hak-hak dari majikannya. Kemudian, ia membagi waktunya dengan Rabbnya. Tenggelam dalam kekhusyukan beribadah dan ikhlas karena Rabbnya. Dan terakhir, ia membagi waktunya dengan ilmu. Ketika sang tuan melihat budaknya ini mempunyai semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu dan berkhidmat kepada agama Allah, maka ia pun berinisiatif untuk membebaskannya dengan harapan dapat memberikan manfaat bagi kaum muslimin.

ATHA BIN ABI RABAH SETELAH MERDEKA

Setelah merdeka, Atha tak menyia-nyiakan umurnya. Ia mencurahkan segenap jiwa dan raganya untuk beribadah kepada Allah Swt.. Hari-harinya ia isi dengan menuntut ilmu agama. Waktunya bersama ilmu, ia gunakan dengan cara mendatangi sahabat-sahabat Nabi yang masih hidup untuk meneguk telaga ilmu yang luas dari mereka. Ia belajar di Madrasah Mekkah yang digawangi oleh Abdullah bin Abbas. Namun, ia tidak hanya berguru kepada Ibnu Abbas, diantara gurunya adalah Ibn Amr, Abdullah bin Umar, dan para sahabat lainnya namun hanya di sekitar Mekkah saja. Diantara muridnya adalah Ya’kub, Abu Ishaq, Mujahid, Al-Zuhri, Ayub al-Sukhtiyani, Abu al-Zubair, Al-Hakam bin ‘Utaibah, Ibnu Juraij, ‘Amr bin Dinar, dan masih banyak lagi.

Ketekunannya dalam menuntut ilmu menjadikannya salah satu mufassir dari kalangan tabi’in dari Madrasah Mekkah, bersamaan dengan Said bin Jubair, Mujahid in Jabr, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, dan Tawus bin Kaisan Al-Yamany yang ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas. Adapun Sumber penafsiran pada Masa Tabi’in, yaitu:

1.      Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad saw.

2.      Pendapat Sahabat

3.      Ijtihad Tabi’in

4.      Informasi dari Ahli kitab yang bersumber dari kitab-kitab suci

Secara garis besar ada dua sikap ulama terhadap penafsiran tabi’in, yaitu ada yang menerima dan menolak. Alasan ulama menolak adalah tidak ada kemungkinan seorang tabi’in mendengar langsung dari Rosulullah saw., berbeda dengan penafsiran sahabat yang bisa jadi ia mendengarnya dari Rosulullah saw.. Selain itu, karena mereka tidak menyaksikan berbagai kondisi yang melingkupi turunnya Al-Qur’an, sehingga bisa jadi mereka salah dalam memahami maksud dan menduga sesuatu yang bukan dalil sebagai dalil. Selain itu, status adil para tabi’in tidak dinaskan, berbeda dengan status adil para sahabat. Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa uzapan tabi’in dalam bidang tafsir itu dapat diterima sebagai acuan karena para tabi’in itu menukil sebagian besar penafsiran mereka dari para sahabat.

Keluasan ilmu Atha bin Abi Rabah tidak hanya menjadikannya sebagai mufhti dan mufassir, namun beliau juga meriwayatkan beberapa hadits. Kualitas Atha bin Abi Rabah dalam meriwayatkan hadits dapat di lihat dari pendapat-pendapat ulama hadits berikut; Al-Dibaj berkata: “Aku tidak melihat seorang mufti yang lebih baik dari Atha.” Yahya bin Said dari Ibnu Juraij berkata: “Atha adalah orang yang paling baik sholatnya.”

Adapun Ali bin Al-Madani pun berkata: “Aku lebih suka risalahnya Mujahid dari pada risalahnya Atha karena ia mengambil segala macam bentuk dan ia tidak meriwayatkan dari Ibnu Umar walau Atha melihatnya.” Al-Fadl bin Ziad dari Ahmad: “Risalah Siad bin Musayyab sahih, risalah Ibrahim la ba’sa bih, dan tidak ada risalah yang lebih dha’if dibanding risalah Al-Hasan dan Atha bin Abi Rabah. Karena keduanya mengambil dari setiap orang.” Ibnu Hibban dalam kitab Tsiqqatsnya: “Dia adalah Tabi’in yang faqih, berilmu, wara’, dan punya keutamaan, namun tidaklah shahih sima’nya (pendengarannya) dari Abu Darda’ dan Al-Fadl bin Abbas.”

Dalam kualitas sanad hadits, jarh wa ta’dil Atha bin Abi Rabah : Al-Fadl bin Ziad  = dha’if. Dan Ibnu Hibban = la yassihu sima’uhu.

Demikianlah kualitas Atha bin Abi Rabah, meskipun ada beberapa orang yang mengatakan beliau mufhti yang baik dan ahli sholat, namun tak sedikit yang mengatakan bahwa beliau tidak mendengar langsung dalam periwayatan hadits termasuk Ibnu Umar.

PERANGAI MULIA ATHA BIN ABI RABAH

Terlepas dari pandangan ulama terhadap periwayatan dan penafsiran Atha bin Abi Rabah. Kedudukannya yang tinggi dan mulia tidak membuatnya terpana dan pongah, ia tetap mengenal dan sadar akan hakikat dirinya sebagai hamba Allah Swt..

Didalam buku Shuwaru Min Hayah At-Tabi’in yang ditulis oleh Dr. Abdurrahman Raf’at Basya, dituliskan bahwa Atha bin Abi Rabah mencapai puncak dalam hal agama dan ilmu karena dua hal, yaitu:

Pertama, ia mampu mengendalikan jiwanya dari hawa nafsu, sehingga ia tidak memberikan peluang untuk sibuk dalam urusan yang tidak berguna baginya.

Kedua, ia mampu memanage waktunya, sehingga tidak membuangnya secara sia-sia, seperti bermain dan berbicara yang tidak perlu, maupun perbuatan tak berguna lainnya.

HIKMAH

Banyak sekali hikmah yang dapat digali dari kisah seorang Atha bin Abi Rabah perihal pentingnya menuntut ilmu. Seorang Atha bin Abi Rabah adalah sosok yang layak kita jadikan figur, bahwa dengan ilmu derajat kita satu tingkat lebih tinggi daripada manusia lainnya.

Dengan ilmu pula, Allah mudahkan jalan bagi kita ke surga, seperti hadits Rosulullah saw.:

ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا الى الجنة

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” [HR. Muslim, no. 2699]

Maka dari itu, dengan adanya kisah Atha  bin Abi Rabah yang Allah naikkan derajatnya karena ilmu, semoga kita pun termotivasi dengan kisah beliau dan semakin giat menuntut ilmu.

Benar apa yang dikatakan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik saat itu, bahwa dengan ilmu, rakyat bisa menjadi terhormat. Dan dengan ilmu pula, para budak bisa melampaui derajat para raja.

Pilihan Terbaik Untuk Mencapai Kesuksesan Dunia dan Akhirat

  Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Halo semuanya❤    Apakabar ?  Semoga kalian semua dalam keadaan sehat dan senantiasa berada ...