Ketika mendengar kata ‘seorang budak’ tentunya kebanyakan dari kita
pikirannya akan terarahkan kepada keadaan yang miris, pengendalian diri secara
paksa, kebebasan hidup yang dirampas, dan hal-hal lainnya yang terkesan
mengenaskan dan penuh rasa iba. Namun kembali lagi kepada fitrah kita sebagai
manusia, bahwa kita diciptakan sebagai sebaik-baiknya makhluk. Seperti halnya
tersebut dalam firman Allah Swt. yang artinya,
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
sebaik-baiknya”. [Q.S. At-Tin ayat 4]
Maka dari itu, tidak lantas
semua yang menjadi budak akan hina. Karena tak jarang pula diantara mereka yang
justru keimanannya melebihi orang-orang merdeka. Salah satu diantaranya adalah,
Atha bin Abi Rabah. Ia dilahirkan pada pertengahan masa pemerintahan Utsman dan
menjadi salah satu mufassir dari kalangan tabi’in. Keimanan dan semangatnya
dalam menuntut ilmu menjadikannya mulia. Inilah yang Allah janjikan dalam
ayat-Nya yang artinya,
“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian
dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” [Q.S. Al-Mujadalah ayat 11]
Tatkala Allah Swt. telah berkehendak untuk memilih dan memuliakan
hamba-Nya dengan ilmu, maka tidak ada seorang pun yang mampu mencegahnya.
Dengannya pula Allah memuliakan hamba-Nya betapapun statusnya dalam pandangan
manusia adalah hina.
Pada tulisan ini saya ‘Sri
Widayanti’ Mahasiswi semester 5 Sekolah Tinggi Al-Qur’an Al-Multazam Kuningan
akan menuliskan biografi Atha bin Abi Rabah salah satu mufassir ternama
di kalangan tabi’in. Tulisan ini dimuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Manahij
Al-Mufassirin, juga sebagai sarana berbagi ilmu kepada pembaca yang
dirahmati Allah Swt..
ATHA BIN ABI RABAH
Atha bin Abi Rabah kunyahnya adalah Abu Muhammad Al-Makki. Ayahnya
dikenal dengan Abu Rabah Aswadan, nama aslinya Aslam dan ibunya bernama
Barokah. Ia dilahirkan di sebuah desa di negeri Yaman yang bernama Al-Janad
pada tahun 653 M / 27 H. Dan wafat pada tahun 741 M / 115 H pada usia 88 tahun.
Atha bin Abi Rabah adalah seorang yang berkulit hitam dan berambut
keriting. Semasa di Mekkah, ia menjadi budak dari seorang wanita yang bernama
Habibah binti Maisarah bin Abi Hutsaim. Ia membagi waktunya menjadi tiga
bagian. Bagian yang pertama, ia membagi waktunya dengan memenuhi hak-hak dari
majikannya. Kemudian, ia membagi waktunya dengan Rabbnya. Tenggelam dalam
kekhusyukan beribadah dan ikhlas karena Rabbnya. Dan terakhir, ia membagi
waktunya dengan ilmu. Ketika sang tuan melihat budaknya ini mempunyai semangat
yang tinggi dalam menuntut ilmu dan berkhidmat kepada agama Allah, maka ia pun
berinisiatif untuk membebaskannya dengan harapan dapat memberikan manfaat bagi
kaum muslimin.
ATHA BIN ABI RABAH SETELAH MERDEKA
Setelah merdeka, Atha tak menyia-nyiakan umurnya. Ia mencurahkan
segenap jiwa dan raganya untuk beribadah kepada Allah Swt.. Hari-harinya ia isi
dengan menuntut ilmu agama. Waktunya bersama ilmu, ia gunakan dengan cara
mendatangi sahabat-sahabat Nabi yang masih hidup untuk meneguk telaga ilmu yang
luas dari mereka. Ia belajar di Madrasah Mekkah yang digawangi oleh Abdullah
bin Abbas. Namun, ia tidak hanya berguru kepada Ibnu Abbas, diantara gurunya
adalah Ibn Amr, Abdullah bin Umar, dan para sahabat lainnya namun hanya di
sekitar Mekkah saja. Diantara muridnya adalah Ya’kub, Abu Ishaq, Mujahid,
Al-Zuhri, Ayub al-Sukhtiyani, Abu al-Zubair, Al-Hakam bin ‘Utaibah, Ibnu
Juraij, ‘Amr bin Dinar, dan masih banyak lagi.
Ketekunannya dalam menuntut ilmu menjadikannya salah satu mufassir dari
kalangan tabi’in dari Madrasah Mekkah, bersamaan dengan Said bin Jubair,
Mujahid in Jabr, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, dan Tawus bin Kaisan Al-Yamany yang
ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas. Adapun Sumber penafsiran pada Masa
Tabi’in, yaitu:
1.
Al-Qur’an dan
hadits Nabi Muhammad saw.
2.
Pendapat
Sahabat
3.
Ijtihad Tabi’in
4.
Informasi dari
Ahli kitab yang bersumber dari kitab-kitab suci
Secara garis besar ada dua sikap ulama terhadap penafsiran tabi’in,
yaitu ada yang menerima dan menolak. Alasan ulama menolak adalah tidak ada
kemungkinan seorang tabi’in mendengar langsung dari Rosulullah saw., berbeda
dengan penafsiran sahabat yang bisa jadi ia mendengarnya dari Rosulullah saw..
Selain itu, karena mereka tidak menyaksikan berbagai kondisi yang melingkupi
turunnya Al-Qur’an, sehingga bisa jadi mereka salah dalam memahami maksud dan
menduga sesuatu yang bukan dalil sebagai dalil. Selain itu, status adil para
tabi’in tidak dinaskan, berbeda dengan status adil para sahabat. Namun,
mayoritas ulama berpendapat bahwa uzapan tabi’in dalam bidang tafsir itu dapat
diterima sebagai acuan karena para tabi’in itu menukil sebagian besar
penafsiran mereka dari para sahabat.
Keluasan ilmu Atha bin Abi Rabah tidak hanya menjadikannya sebagai
mufhti dan mufassir, namun beliau juga meriwayatkan beberapa hadits. Kualitas
Atha bin Abi Rabah dalam meriwayatkan hadits dapat di lihat dari
pendapat-pendapat ulama hadits berikut; Al-Dibaj berkata: “Aku tidak melihat
seorang mufti yang lebih baik dari Atha.” Yahya bin Said dari Ibnu Juraij
berkata: “Atha adalah orang yang paling baik sholatnya.”
Adapun Ali bin Al-Madani pun berkata: “Aku lebih suka risalahnya
Mujahid dari pada risalahnya Atha karena ia mengambil segala macam bentuk dan
ia tidak meriwayatkan dari Ibnu Umar walau Atha melihatnya.” Al-Fadl bin Ziad
dari Ahmad: “Risalah Siad bin Musayyab sahih, risalah Ibrahim la ba’sa bih,
dan tidak ada risalah yang lebih dha’if dibanding risalah Al-Hasan dan Atha bin
Abi Rabah. Karena keduanya mengambil dari setiap orang.” Ibnu Hibban dalam
kitab Tsiqqatsnya: “Dia adalah Tabi’in yang faqih, berilmu, wara’, dan
punya keutamaan, namun tidaklah shahih sima’nya (pendengarannya) dari
Abu Darda’ dan Al-Fadl bin Abbas.”
Dalam kualitas sanad hadits, jarh wa ta’dil Atha bin Abi Rabah :
Al-Fadl bin Ziad = dha’if. Dan
Ibnu Hibban = la yassihu sima’uhu.
Demikianlah kualitas Atha bin Abi Rabah, meskipun ada beberapa
orang yang mengatakan beliau mufhti yang baik dan ahli sholat, namun tak
sedikit yang mengatakan bahwa beliau tidak mendengar langsung dalam periwayatan
hadits termasuk Ibnu Umar.
PERANGAI MULIA ATHA BIN ABI RABAH
Terlepas dari pandangan ulama terhadap periwayatan dan penafsiran
Atha bin Abi Rabah. Kedudukannya yang tinggi dan mulia tidak membuatnya terpana
dan pongah, ia tetap mengenal dan sadar akan hakikat dirinya sebagai hamba
Allah Swt..
Didalam buku Shuwaru Min Hayah At-Tabi’in yang ditulis oleh
Dr. Abdurrahman Raf’at Basya, dituliskan bahwa Atha bin Abi Rabah mencapai
puncak dalam hal agama dan ilmu karena dua hal, yaitu:
Pertama, ia mampu mengendalikan jiwanya dari hawa nafsu, sehingga
ia tidak memberikan peluang untuk sibuk dalam urusan yang tidak berguna
baginya.
Kedua, ia mampu memanage waktunya, sehingga tidak
membuangnya secara sia-sia, seperti bermain dan berbicara yang tidak perlu,
maupun perbuatan tak berguna lainnya.
HIKMAH
Banyak sekali hikmah yang dapat digali dari kisah seorang Atha bin
Abi Rabah perihal pentingnya menuntut ilmu. Seorang Atha bin Abi Rabah adalah
sosok yang layak kita jadikan figur, bahwa dengan ilmu derajat kita satu
tingkat lebih tinggi daripada manusia lainnya.
Dengan ilmu pula, Allah mudahkan jalan bagi kita ke surga, seperti
hadits Rosulullah saw.:
ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا الى الجنة
“Siapa yang menempuh
jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.”
[HR. Muslim, no. 2699]
Maka dari itu, dengan adanya kisah Atha bin Abi Rabah yang Allah naikkan derajatnya
karena ilmu, semoga kita pun termotivasi dengan kisah beliau dan semakin giat
menuntut ilmu.
Benar apa yang dikatakan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik saat itu, bahwa dengan ilmu, rakyat bisa menjadi terhormat. Dan dengan ilmu pula, para budak bisa melampaui derajat para raja.